Senin, 24 Desember 2012

Guillain-Barre Syndrome (GBS)

Pengertian
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan3.
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun neurologis yang mana penyakit ini timbul dikarenakan sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi terhadap saraf, sehingga terjadi kerusakan pada saraf itu sendiri. Kasus GBS dapat berkembang setelah infeksi (misalnya gangguan sistem pernapasan atas atau penyakit system pencernaan). Hal ini terjadi ketika tubuh membuat antibodi untuk melindungi diri melawan invasi bakteri atau virus. Namun, bakteri dan virus tertentu memiliki penutup protein yang menyerupai beberapa protein yang normal pada selubung yang membungkus saraf (selubung mielin) sehingga dapat mengakibatkan sistem kekebalan tubuh menyerang saraf itu sendiri4.
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial. Paling banyak pasien-pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernafasan atau gastointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan beberapa proses lain. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. (Meilin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting dalam transmisi infus saraf)5.

Etiologi
Etiologi dari GBS (Guillain-Barre Syndrome menurut Kenici K, et all penyakit Sindrom Guillain-Barre dapat dipicu oleh infeksi mikroorganisme Compylobacter jejuni, Haemophilus influenza, dan Cytomegalovirus. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Sindrom Guillain-Barre paling banyak ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis. Pada bebearapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan6.
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh Sindrom Guillain-Barre diantaranya kelemahan, mati rasa, dansensasi kesemutan di kaki dan tangan yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Kadang-kadang juga dapat mempengaruhi otot.


Myasthenia gravis

Pengertian
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit muscular miastenia gravis adalah gangguan yang memengaaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang(volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuscular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunteer dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal) (price dan Wilson, 1995)3.
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang secara bertahap menyebabkan kehilangan kekuatan otot-otot dan fungsinya. Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang melemahkan otot. Nama berasal dari kata Yunani dan Latin yang berarti "kelemahan otot"4,5.
Miastenia gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-satunya penyakit neuromuscular yang menggabungkan kelelahan ccepat otot voluntary dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan dapat butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal)2.
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial6.

Patofisiologis
Otot rangka atau otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak. Nervus ini mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu merangsang 2000 serabut otot yang dipersarafinya disebut unit motorik. Walaupun masing-masing neuron motorik mempersarafi banyak serabut otot, namun masing-masing serabut otot dipersarafi oleh neuron motorik2.
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan serabut otot disebut sinaps atau taut neuromuscular. Taut neuromuscular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: elemaen parasinaptik, elemen pascasinaptik, dan celah sinaptik dengan lebar sekitar 200 Ǻ diantara dua elemen. Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang berisi vesikel sinaptik dengan neurotransmitter asetilkolin. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (buoton). Membrane plasma akson terminal disebut membrane prasinaps. Elemen pascasinaps (membran pasca enghubung), atau ujung lempeng motorik dari serat otot. Membrane pascasinaps dibentuk oleh invaginasi yang disebut saluran sinaps membrane otot atau sarkolema ke dalam tonjolan banyak lipatan (celah subneural), yang sangat meningkatkan luas permukaan. Membrane pascasinaps juga mengandung reseptor asetilkolin dan mampu membangkitkan lempeng potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu enzim yang merusak asetilkolin juga terdapat dalam membrane pascasinaps. Celah sinaptik mengacu pada ruangan antara membrane prasinaptik. Ruang tersebut terisi oleh bahan gelatin yang dapat menyebar melalui cairan ekstraselular (CSF)2.
Apabila inpuls saraf mencapai taut neuromuscular, membrane akson prasinaptik terminal terpolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke dalam celah sinaptik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difus dan menyatu dengan bagian reseptor asetilkolin dalam membrane pascasinaptik. Masuknya ion Na secara mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan depolarisasi ujung lempeng yang diketahui sebagai ujung lempeng potensial (end-plate potential, EPP). Ketika EPP mencapai puncak membrane otot tidak bertaut yang menyebar sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini merangkai serangkaian reaksi yang menyebabkan kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati celah penghubung neuromuscular, asetilkolin akan dirusak oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial aksi2.
Dalam MG, konduksi neuromuskularnya terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin normal menjadi menurun yang diyakini terjadi akibat cedera autoimun. Antibody terhadap protein reseptor asetilkolin telah ditemukan dalam serum banyak penderita MG. penentuan bahwa hal ini akibat kerusakan reseptor primer atau sekunder yang disebabkan oleh agen primer yang tidak diketahui akan sangat bermanfaat dalam menentukan pathogenesis pasti dari MG2.

Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat hipotesis terbaru bahwa MG adalah suatu gangguan autoimun yang mengganggu fungsi reseptor asetilkolin dan menurunkan efisiensi taut neuromuscular. MG paling sering timbul sebagai penyakit tersembunyi bersifat progresif, yang ditandai oleh kelemahan dan kelelahan otot. Namun keadaan tersebut tetap terbatas pada kelompok otot tertentu. Perjalanan penyakit sangat bervariasi pada setiap pasien sehingga sulit untuk menentukan prognosis2.
Tanda dan gejala yang terdapat pada penderita miastenia gravis antara lain, sebagai berikut 4,7,10,11,12:
- Kelemahan otot
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini mengalami kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk istirahat. Gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh. Otot-otot simetris terkena, umumnya itu dihubungkan dengan saraf kranial.
- Terkulai/turunnya salah satu atau kedua kelopak mata(ptosis)
Gambar 3. Ptosis (drooping eyelid)
Pada 90% pasien gejala awal melibatkan otot okular yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot levator palpebra kelopak mata. Bila penyakit terbatas pada otot mata, perjalanan penyakit sangat ringan dan tidak meningkatkan angka mortalitas. Mata terlihat tidak terbuka sepenuhnya, jika kelopak mata kemudian penglihatan akan terhalang., hal ini disebut dengan ptosis.
- Penglihatan kabur atau penglihatan ganda (diplopia) karena kelemahan otot mengendalikan pergerakan mata
Penglihatan terhadap gambar lebih dari satu, akibat dari kelemahan otot-otot yang menggerakkan mata bersama-sama secara sejajar. Sebagian orang mengalami penglihatan yang samar (kabur) dibandingkan penglihatan ganda ketika mata melihat.
- Kelemahan dalam pelukan, tangan, jari, kaki, leher, dan anggota gerak, masalah berjalan dan kesulitan duduk
Juga mengenai otot-otot yang mengendalikan pernapasan, leher, dan anggota gerak. Gelang bahu dan pelvis dapat terkena pada kasus berat; dapat terjadi kelemahan umum pada otot skelet. Beberapa pasien sekitar 15% sampai 20% meneluh lemah pada tangan dan otot-otot lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki mengalami kelemahan, yang membuat pasien jatuh. Berdiri, berjalan, atau bahkan menahan lengan di atas kepala (misal, ketika menyisir rambut) dapat sulit dilakukan.
- Kelemahan otot wajah, perubahan dalam ekspresi wajah
Ekpresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Otot wajah, laring, dan faring juga sering terlibat dalam MG. keterlibatan ini dapat mengakibatkan regurgitasi melalui hidung ketika berusaha menelan (otot patum); bicara hidung yang abnormal; dan tidak dapat menutup mulut, yang disebut sebagai tanda rahang menggantung (hanging jaw sign). Dengan terkenanya otot wajah, pasien akan terlihat seperti menggeram bila mencoba tersenyum
- Sulit menelan
Kelemahan pada otot-otot bulbar menyebabkan masalah menguyah dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
- Gangguan berbicara (dysarthia)
Pengaruhnya pada laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata.
- Sesak napas (merasa seperti Anda tidak bisa mendapatkan cukup udara)
Tingkat kelemahan otot yang terjadi pada miastenia gravis, berbeda antara pasien satu dengan pasien yang lain. Mulai dari terlokalisasi yang melibatkan banyak otot, termasuk otot yang mengendalikan pernapasan. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif menyebabkan gawat napas, yang merupakan keadaan darurat akut. Keterlibatan otot pernapasan dibuktikan dengan batuk lemah, dan akhirnya serangan dispnea, dan ketidakmampuan untuk membersihkan mucus dari cabang trakheobronkial.
Secara umum, beristirahat dan agen antikolinesterase dapat meringankan gejala MG. gejala diperberat oleh (1) peubahan keseimbangan hormonal (missal, selama kehamilan, fluktuasi dalam siklus menstruasi, atau gangguan fungsi tiroid); (2) penyakit yang terjadi pada waktu yang bersamaan khususnya infeksi traktus pernapasan atas dan yang berkaitan dengan diare dan demam; (3) emosi kekecewaan, sebagian besar pasien mengalami kelemahan otot yang lebih ketika kecewa; (4) alcohol (khususnya dengan air tonik yang terdiri dari kuinin, yaitu obat yang meningkatkan kelemahan otot) dan obat-obat lain2.

Penatalaksaan Medis

Tujuan dari pengobatan dari penyakit ini yaitu adalah untuk mengeleminasi atau setidaknya meminimalisasikan gejala. Perlemahan otot yang berat, diobati dengan plasmaferesis atau terapi immunoglobulin intervena (IVIg) dengan onset kerja cepat, terapi berdurasi pendek. Modalitas ini terkadang digunakan secara teru-menerus, jika pasien tidak dapat mentoleransi dengan baik terapi imunosupresan standar. Timektomi dapat meningkatlkan remisi pasien MG7.
a. Antikonesterase
Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relatif tersedia pada persimpangan neuromuskular. Mereka diberikan untuk meningkatkan respons otot-otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya mengurangi simtomatik6,7.
Obat-obatan dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromida (Mestinon), ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin bromida (Prostigmine)6.
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromide 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang mencolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral settara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atripin 0.5-1.0 mg. pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB7.
Banyak pasien lebih suka dengan piridostigmin karena obat ini menghasilkan efek samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai hasil maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan, berkurangnya kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak dapat tercapai dan pasien akan mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan6.
Obat-obat anti kolinesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi penyangga makanan lainnya. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, kram abdominal, mual, muntah, diare, salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronchial berlebihan. Efek samping gastro-intestinal dapat dilatasi dengan pemberian propantelin bromide atau atropine.Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat menurunkan atau mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi antikolinesterase mencakup efek samping pada otot-otot skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan kelemahan. Pengaruh terhadap sistem saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas, insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan), sinkope, atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan ekskresi saliva dan keringat, meningkatnya sekresi bronkhial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya juga dicatat. Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk memberi obat-obatan yang ditentukan menurut jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-gejala pasien. Pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien tidak mampu untuk menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah. Meningkatnya kekuatan otot dalam satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan6,7.
Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencena waktu yang ditentukan. Penyesuaian lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosional dan terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan penyakit6.

Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d kelemahan otot pernapasan
2. Jalan napas tidak efektif b.d akumulasi secret, kemampuan batuk menurun
3. Risiko tinggi aspirasi b.d penurunan control tersedak dan batuk efektif
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
5. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan otot-otot volunteer
6. Intoleransi aktifitas
7. Gangguan komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan bicara
8. Gangguan citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Subowo, dr.MSc., PhD. Imunologi klinik edisi ke-2. Bandung: Sagung Setoy. 2010.

2. Price SA, Lorraine MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC, 2005.

3. Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika. 2008.

4. Torpy JM., Tiffany JG., Richard MG. Myasthenia Gravis. The Journal of the American Medical Association. 2005; 293(15).

5. Penn AS., Henry JK. Myasthenia Gravis. U.S. Department of Health and Human Services, Office on Women’s Health. 2008; 1-5.

6. Brunner, Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3 Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.

7. Anonymous. Gangguan Otoimun Pada Otot. Ethical Digest. 2008;49.

8. Myasthenia Gravis: Frequently Asked Questions. Myasthenia Gravis Foundation of America. www.myasthenia.org. 2011.

9. Emergency Management of MG. Myasthenia Gravis Foundation of America. www.myasthenia.org. 2010.

10. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.

11. Jonathan Gleadle.At a glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : penerbit Erlangga. 2007.

12. Common Question About Myasthenia Gravis. Myasthenia Gravis Foundation of America. www.myasthenia.org. 2011.

13. Common Question About Thymectomy. Myasthenia Gravis Foundation of America. www.myasthenia.org. 2010.



Pemphigus vulgaris

PENGERTIAN
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis Ig G, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.
“Pemphix” dalam bahasa Yunani artinya ‘gelembung atau lepuh’ dan “vulgaris dalam bahasa Latin artinya ‘umum’. Meskipun demikian pemfigus adalah suatu penyakit yang jarang, pemphigus vulgaris adalah paling umum dari semua penyakit, berisikan 80% penyakit yang ada. Kata pemfigus pertama kali disebutkan oleh Wichman pada 1791. Ditengahi oleh sirkulasi autoantibody yang langsung mengarah ke sel permukaan keratinosit. Angka kematian dari pemfigus vulgaris sebelum perkembangan dengan terapi pengobatan adalah setinggi 90% dan yang fatal adalah sebagian besar dehidrasi atau infeksi sistemik sekunder. Sekarang dengan pengobatan, angka kematian kira-kira 5 - 15%. Angka kematian dari PV adalah 75% pada rata-rata sebelum penggunaan dari kortikosteroids (CS) pada awal 1950s.
Pemfigus Vulgaris (PV) adalah suatu penyakit kronis mukokutaneus yang biasanya manifestasi pertama pada rongga mulut yang kemudian menyebar ke kulit atau membran mukosa yang lain. Kondisi penyakit ini penting yang merupakan suatu ancaman, dokter gigi mampu untuk mengenali manifestasi PV dari mulut dan pengobatan atau yang berhubungan dengannya. Selain dari ulkus, vesikel, bulla, dan erosi, juga dapat terbentuk sebagai lesi pustula.
Pemfigus vulgaris (PV) dan pemfigus foliaseus (PF) adalah penyakit kulit autoimmune yang berpotensi fatal dimana autoantibodi melawan desmoglein 3 (Dsg3) dan Dsg1, permukaan molekul sel desmosomal adhesi, menyebabkan sel keratinosit adhesi. PF ditandai oleh hanya permukaan kulit yang melepuh, sementara PV secara khas menyajikan dengan melepuh suprabasilar dari membran mukosa, yang mungkin meluas ke daerah kulit. Pembahasan ELISA bahwa semua Sera PF mengandung autoantibodi melawan Dsg1, dan serum dari pasien dengan dominan mukosa PV mereaksi sebagian besar melawan Dsg3. Pasien PV yang menuju dari mukosa ke mukokutaneous mengembangkan anti Dsg1 sebagai tambahan terhadap anti antibodi Dsg3.

EPIDEMIOLOGI
Pemfigus Vulgaris (P.V) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (decade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.
Puncak insiden dari pemphigus vulgaris terjadi di antara dekade keempat dan keenam dari hidup dengan rasio laki-laki dan perempuan adalah 1:2.

Distribusi dari pemphigus vulgaris dari usia 15 sampai 70 tahun dengan rata-rata usia 42.73 tahun. pasien termuda adalah 15 tahun dan usia pasien paling tua adalah 70 tahun. presentasi pada laki-laki adalah 47.50 tahun dan perempuan adalah 39.75 tahun. Mayoritas dari sabar berada pada kelompok usia 41 - 50 tahun (28. 16%). Berikutnya angka tertinggi dari pasien berada dalam kelompok usia dari 31 - 40 tahun (23. 94%) diikuti oleh umur kelompok dari 21 - 30 tahun (16. 90%).

Pemfigus vulgaris tersebar diseluruh dunia, dapat mengenai semua ras, frekuensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70% dari semua kasus pemfigus, biasanya pada usia 50-60 tahun dan jarang pada anak-anak. Insiden pemfigus bervariasi anta 0,5-3,2 kasus per 100.000 dan pada keturunan yahudi khususnya Ashkenazi jewish insidennya meningkat.

ETIOLOGI
Pemfigus adalah penyakit autoimmun, karena pada serum penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-induced pemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foliaseus (termasuk pemfigus eritomatosus) atau pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus yang sporadik, pemeriksaan imunoflouresensi langsung pada kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan imunoflouresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif.
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik.
Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa.
Penyebab pasti pemfigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya pembentukan antibody IgG, beberapa faktor potensial yang relevan yaitu:
1. Faktor genetik: molekul major histokompatibility komplek (MHC) kelas II berhubungan dengan human leukosyte antigen DR4 dan human leukocyte antigen DRw6
2. Pemfigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang lain, terutama myasthenia gravis dan thyoma.
3. D-penicillamine dan katopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya pemfigus (jarang).

PATOGENESIS

Proses utama yang terjadi pada semua bentuk pemfigus adalah :
1. Terjadinya keretakan dalam epidermis
2. Hilangnya adhesi sel-sel epidermis (‘akantolisis’)
Lepuh pada pemfigus vulgaris akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat molekul 160 kD untuk pemfigus foliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang terdapat sel keratinosit.
Kelainan-kelainan ini bisa terjadi tepat di atas bagian basal (pemfigus vulgaris) atau pada tempat yang lebih tinggi (pemfigus foliaseus). Varian yang paling sering adalah pemfigus vulgaris, dimana didapatkan adanya lepuhan yang lunak dan erosi pada kulit. Kelainan ini bisa timbul dimana saja, tetapi pada lebih dari 50% pasien timbul didaerah mulut. Lesi di daerah perineum juga sering didapatkan. Lepuhan ini mudah pecah dan erosi yang diakibatkannya sembuh dengan sangat lambat bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Tanda yang sangat khas adalah adanya tanda Nikolsky, kulit pada bagian tepi lepuhan akan bergerak meluncur bila ditekan dengan jari atau diangkat dengan forseps. Tanda ini tampaknya adalah patognomonik karena hanya ditemukan pada pemfigus dan nekrolisis epidermal toksik. Pemfigus vegetans merupakan salah satu varian pemfigus vulgaris, dimana didapatkan adanya massa yang bervegetasi, terutama di daerah fleksor.
Desmoglein adalah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain, misalnya desmoplakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi desmosom ialah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Target antigen pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaesus target antigennya ialah desmoglein 1.
Antigen utama dalam pemfigus vulgaris adalah Dsg - 3 tapi 50% pasien juga mempunyai auto antibodi ke Dsg - 1. Proporsi dari antibodi Dsg - 1 dan Dsg-3 tampak berhubungan dengan kehebatan klinis dari pemfigus vulgaris itu dengan hanya antibodi Dsg - 3 punya sebagian besar lesi oral.
Di selaput lendir, Dsg1 diekspresikan sebagian besar pada permukaan epitelium, sementara Dsg3 diekspresikan di bagian kulit. Di kulit, Dsg1 diekspresikan sepanjang epidermis (sebagian besar permukaan atas), sementara Dsg3 diekspresikan hanya pada dasar dan lapisan suprabasal langsung. Pada PF, anti antibodi lantaran Dsg1 melepuhkan pada permukaan atas epidermis , dimana Dsg1 tetapi bukan Dsg3, tapi mereka tidak mempengaruhi mukosa mulut karena akibat adhesi yang disediakan oleh Dsg3 sepanjang epithelium. Di mukosa PV, anti antibodi lantaran lepuh Dsg3 hanyalah pada lapisan dasar dari mukosa, dimana Dsg3 hadir tanpa Dsg1 untuk ganti kerugian. Perkembangan dari anti Dsg1 sebagai tambahan terhadap anti - Antibodi Dsg3 di mukokutaneous PV dihasilkan pada ekstensi dari suprabasilar melepuh ke epidermis.

GEJALA KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai prodermal pada kulit kepala yang berambut atau dematitis dengan infeksi sekunder. Lesi ditempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata. Lesi mulut sering terjadi pada awal manifestasi klinik. Dengan demikian, penting untuk dokter gigi mampu mengenali manifestasi PV dari mulut dan pengobatan atau yang berhubungan dengannya
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra, vulva dan serviks. Kebanyakan penderita menderita stomatitis aftosa sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di mulut ini dapat meluas dan dapat mengganggu penderita makan karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan diatas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan generalisata. Tanda nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas, cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan.

PENGOBATAN
Obat utama adalah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang sering digunakan adalah prednison deksametason. Dosis prednisone bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametason i.m atau i.v. sesuai dengan ekuivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan cairan dan gangguan elektrolit diperhatikan.
Pengobatan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Sebelum kortikosteroid sistemik digunakan dalam pengobatan, kebanyakan pasien meninggal, biasanya akibat penyakit berkepanjangan dan membuat badan menjadi lemah. Sistemik CS adalah pengobatan terbaik yang digunakan untuk manajemen dari PV. Penggunaan CS pada awal 1950s dihasilkan angka kematian adalah rata-rata 30% dengan angka kecepatan kesembuhan 13–20%. Hasil lebih lanjut meningkat dan pada satu pembahasan terbaru, angka kematian adalah nol dan angka kesembuhan adalah 29% pada pengobatan 17 pasien dengan steroid dan diikuti untuk 4 – 6 tahun.
Digunakan prednisolon dosis tinggi (60-120 mg per hari). Secara bertahap dosis dikurangi bila pembentukan lepuhan baru sudah berhenti (biasanya dalam waktu sekitar 4-6 minggu). Obat-obatan imunosupresi seperti azatiopron, klorambusil, siklofosfamid, atau metotreksat dapat diberikan sebagai tambahan untuk mendampingi obat-obat steroid.
Perawatan yang baik dan penanganan metabolisme tubuh merupakan hal yang mendesak karena pasien-pasien pemfigus mungkin juga menderita penyakit sistemik. Erosi-erosi yang tersebar luas dapat menyebabkan terjadinya kehilangan protein serta cairan tubuh, dan sering kali terjadi infeksi sekunder. Bila mulut terserang erosi secara hebat, pasien tidak bisa makan dan dapat terjadi katabolisme yang berat.
Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%. Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap. Biasanya setiap 5-7 hari turunkan 10-20mg ekuivalen prednisone tegantung pada respons masing-masing, jadi bersifat individual. Cara yang terbaik adalah memantau titer antibody karena antibody tersebut menunjukkan keaktifan penyakit. Jika titernya stabil, penurunan dosis lambat, bila titernya menurun, penurunan dosis lebih cepat. Jika pemberian prednisone melebihi 40 mg sehari harus disertai antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut. Caranya bermacam-macam yang lazim digunakan ialah dengan methyl prednisolon sodium succinate (solumedrol), intravena selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari. Dosis sehari 250-1000mg (10-20 mg) per kgBB), kemudian dilanjutkan dengan kortikosteroid per os dengan dosis sedang atau rendah. Efek samping yang berat pada terapi denyut tersebut, diantaranya ialah hipertensi, elektrolit sangat terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat menyebabkan kematian mendadak dan pancreatitis.
Pasricha mangobati pemfigus dengan cara kombinasi deksametason dan siklosfamid dosis tinggi secara intermitten dengan hasil baik. Dosis deksametason 100 mg dilarutkan dalam 5% glukosa diberikan selama 1 jam i.v., 3 hari berturut-turut . siklosfamid diberikan i.v., 500mg hanya pada hari I, dilanjutkan per os 50 mg sehari. Pemberian deksametason dengan cara tersebut diulangi setiap 2-4 minggu. Setelah beberapa bulan penyakit tidak relaps lagi, pemberian deksametason dijarangkan menjadi setiap 6-9 bulan. Kemudian dihentikan dan pemberian siklofosfamid 50mg/hari diteruskan. Setelah kira-kira setahun pengobatan dihentikan dan penderita diamati terjadinya relaps.
Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang berat atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebra pars lumbalis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rimal J, Sumanth KN, Ongole R, George T, Chatterjee S. A Rare Presentation of Oral Pemphigus Vulgaris as Multiple Pustules. Kathmandu University Medical Journal 2007: Vol. 5 (4) Issue 20: 541-545.
2. Eberle J, Price C, Pulse C, Stern M. Oral Diagnosis, Clinical Manifestations
and Treatment of Pemphigus Vulgaris. Columbia Dental Review 2001: 5; 3-5.
3. Aimee S. Payne, Ken Ishii, Stephen Kacir, Chenyan Lin, Hong Li, Yasushi Hanakawa, etc. Genetic and Functional Characterization of Human Pemphigus Vulgaris Monoclonal Autoantibodies Isolated by Phage Display. The Journal of Clinical Investigation 2005: Vol. 115 (4); 888-99.
4. Harman K.E., Albert S. And Black M.M. Guidelines For The Management Of Pemphigus Vulgaris. British Journal Of Dermatology 2003: 149; 926–37.
5. Shamim T., Varghese V.I., Shameena P.M., Sudha S. Pemphigus Vulgaris In Oral Cavity: Clinical Analysis Of 71 Cases. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2008: 1-13(10); 622-6.
6. Subowo. 2010. Imunologi Klinik Edisi Kedua. Bandung: Sagung Setoy.
7. Ramona Dumasari Lubis. 2008. Gambaran Histopatologis Pemphigus Vulgaris. Universitas Sumatera Utara: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fak Kedokterasn USU.
8. Doengoes Marilynn. Rencana Asuhan Keperawatan , EGC, Jakarta: EGC. 1999.
9. Brunner and suddath. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: 2001.
10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran: Medikal, Jakarta. 1999.


Minggu, 23 Desember 2012

Gastroenteritis (Diare)

A. Definisi Gastroenteritis
Ada berbagai macam pendapat tentang pengertian gastroenteritis, yaitu sebagai berikut :
• Gastroentritis ( GE ) adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (Sowden,et all.1996).
• Gastroenteritis diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya (FKUI,1965).
• Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang disebabkan oleh bakteri yang bermacam-macam,virus dan parasit yang patogen (Whaley & Wong’s,1995).
• Gastroenteritis adalah kondisi dengan karakteristik adanya muntah dan diare yang disebabkan oleh infeksi,alergi atau keracunan zat makanan ( Marlenan Mayers,1995 ).
Jadi dari keempat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gastroenteritis adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya yang disebabkan oleh bakteri,virus dan parasit yang patogen.
Di masyarakat gastroenteritis di kenal dengan nama diare.
• Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100 – 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat), dapat pula disertai frekuensi defekasi yang meningkat (Mansjoer, Arif., et all. 1999).
• Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari ( WHO, 1980),

Etiologi
Penyebab dari gastroenteritis adalah :
1. Makanan dan Minuman
o kekurangan zat gizi; kelaparan (perut kosong) apalagi bila perut kosong dalam waktu yang cukup lama, kemudian diisi dengan makanan dan minuman dalam jumlah banyak pada waktu yang bersamaan, terutama makanan yang berlemak, terlalu manis, banyak serat atau dapat juga karena kekurangan zat putih telur.
o Tidak tahan terhadap makanan tertentu (Protein, Hidrat Arang, Lemak) yang dapat menimbulkan alergi.
o Keracunan makanan
2. Infeksi atau Investasi Parasit Bakteri, virus, dan parasit yang sering ditemukan:
o Vibrio Cholerae, E. coli, Salmonella, Shigella, Compylobacter, Aeromonas.
o Enterovirus (Echo, Coxsakie, Poliomyelitis), Adenovius, Rotavirus, Astovirus.
o Beberapa cacing antara lain: Ascaris, Trichurius, Oxyuris, Strongyloides, Protozoa seperti Entamoeba Histolytica, Giardia lamblia, Tricomonas Hominis.
3. Jamur (Candida Albicans)
4. Infeksi diluar saluran pencernaan yang dapat menyebabkan Gastroenteritis adalah Encephalitis (radang otak), OMA (Ortitis Media Akut → radang dikuping), Tonsilofaringitis (radang pada leher → tonsil), Bronchopeneumonia (radang paru).
5. Perubahan udara
Perubahan udara sering menyebabkan seseorang merasakan tidak enak dibagian perut, kembung, diare dan mengakibatkan rasa lemas, oleh karena cairan tubuh yang terkuras habis.
6. Faktor Lingkungan
Kebersihan lingkungan tidak dapat diabaikan. Pada musim penghujan, dimana air membawa sampah dan kotoran lainnya, dan juga pada waktu kemarau dimana lalat tidak dapat dihindari apalagi disertai tiupan angin yang cukup besar, sehingga penularan lebih mudah terjadi. Persediaan air bersih kurang sehingga terpaksa menggunakan air seadanya, dan terkadang lupa cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

Akibat Yang Dapat Terjadi:
Radang pada saluran cerna dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh, diare dengan berbagai macam komplikasi yaitu dehidrasi, baik ringan, sedang atau berat. Selain itu diare juga menyebabkan berkurangnya cairan tubuh (Hipovolemik), kadar Natrium menurun (Hiponatremia), dan kadar gula dalam tubuh turun (Hipoglikemik), sebagai akibatnya tubuh akan bertambah lemas dan tidak bertenaga yang dilanjutkan dengan penurunan kesadaran, bahkan dapat sampai kematian. Kondisi seperti ini akan semakin cepat apabila diare disertai dengan muntah-muntah, yang artinya pengeluaran cairan tidak disertai dengan masukkan cairan sama sekali.
Pada keadaan tertentu, infeksi akibat parasit juga dapat menyebabkan perdarahan. Kuman mengeluarkan racun diaregenik yang menyebabkan hipersekresi (peningkatan volume buangan) sehingga cairan menjadi encer, terkadang mengandung darah dan lendir.

D. Patofisiologi
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut.
Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal-oral dari satu klien ke klien yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare ). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.

F. Penatalaksanaan
1. Pemberian Cairan
Pemberian cairan merupakan tindakan awal yang dapat dilakukan. Sebaiknya diberikan cairan yang mengandung elektrolit atau yang dikenal sebagai Oralit.
Kecepatan pemberian cairan terutama pada 6 jam pertama berguna untuk mengatasi cairan yang keluar dan mencegah terjadinya dehidrasi (kekurangan cairan). Pemberian cairan dihentikan bila jumlah diare dalam 6 jam terakhir kurang dari 200 cc dan tanda-tanda dehidrasi sudah hilang.
Kebutuhan tubuh terhadap cairan dan elektrolit :
o Cairan
 Dewasa : 50 cc/kg/24 jam
 Anak - anak
- 10 kg pertama : 100 cc/kgBB/24 jam
- 10 kg kedua : 50 cc/kgBB/24 jam
- > : 20 cc/kgBB/jam
o Kebutuhan Na
 3 – 5 meq/kgBB/24 jam
Sifat cairan :
o Hipotonis : D 5%
 Akan mengisi interstitial dan intrasel
o Isotonis : RL, NS, Ringer Asetat
 Bertahan di vaskular
o Hipertonis : koloid ; HES
 Menarik cairan dari ISF dan ICF menuju IV
Kandungan elektrolit dalam sediaan Infus (meq/L)
o RL :
 Na+ = 131
o NaCl 0.9%
 Na+ = 154
o Ringer asetat (asering)
 Na+ = 130
o D 5% = - (glukosa 50 gr/L)
Jenis terapi cairan
o Maintenance
o Rehidrasi
1. Tentukan Derajat Dehidrasi
2. Hitung derajat kehilangan cairan tubuh
3. hitung kebutuhan cairan
4. evaluasi
Rehidrasi dibagi menjadi 2 :
 Oral
• Baik pada dehidrasi derajat ringan – sedang
• Gunakan oralit
• 1 sdt garam + 8 sdt gula
• Selesaikan dalam 4 jam
Dosis :
• Ringan : 50 ml/kg
• Sedang : 100 ml/kg
 Parenteral
• Hitung kebutuhan cairan cairan
Cara
- 1 jam I = 20 cc /kgBB/jam E v a l u a s i
- 1 jam II = 20 cc/kgBB/jam E v a l u a s i
- 1 jam III = 10 cc/kgBB/jam E v a l u a s I
Jika dalam 3 jam masih jelek maka harus kembali ke cara 1 jam I
Evaluasi :
- Nadi
- Tensi
- Urin
- mukosa

o Resusitasi
o Dilakukan pada kasus perdarahan
o 1 cc darah dapat digantikan dengan 3 - 4 cc RL
Terjadi dalam waktu singkat, terjadi penurunan cairan IV, namun ISF dan ICF tetap
2. Pemberian Makanan
Selama pemberian cairan, makanan cair seperti bubur cair, kaldu, atau bubur saring boleh diberikan, tetapi sayur (serat) dapat diberikan apabila keadaan akut sudah teratasi dan pemberian serat dapat diberikan secara bertahap sampai dengan pemberian makanan biasa.
3. Pemberian Obat
Bila gastroenteritis disebabkan oleh infeksi atau investasi parasit, maka diperlukan pemberian obat, segera ke puskesmas, ke dokter, atau ke Rumah Sakit untuk pengobatan dan penanganan selanjutnya. Jika gejalanya membaik, penderita secara bertahap mendapatkan makanan lunak seperti gandum, pisang, bubur nasi, selai apel dan roti panggang.
Jika makanan tersebut tidak menghentikan diare setelah 12-24 jam dan bila tidak terdapat darah pada tinja, berarti ada infeksi bakteri yang serius, dan diberikan obat-obat seperti difenoksilat, loperamide atau bismuth subsalisilat. Karena antibiotik dapat menyebabkan diare dan merangsang pertumbuhan organisme yang resisten terhadap antibiotik, maka antibiotik jarang digunakan meskipun diketahui penyebabnya adalah bakteri.
Antibiotik bisa digunakan, tetapi pada infeksi bakteri tertentu, yaitu Campylobacter, Shigella dan Vibrio cholerae.

Diagnosa Keperawatan GE
1. Defisit volume cairan b.d kehilangan volume cairan secara aktif dan kegagalan mekanisme regulasi.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrisi factor biologi dan factor psikologi.
3. Risiko kerusakan integritas kulit.
4. Gangguan rasa nyaman.
5. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang penyakit.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol.2. Jakarta: EGC. 2001

Long, BC. Perawatan Medikal Bedah III. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjadjaran. Bandung. 1996

Anonymous. Nanda Internasional Nursing Diagnoses 2009 – 2011. US : wiley-blackwell





ANEMIA

Definisi
Definisi Umum yang digunakan untuk anemia, apapun penyebabnya, adalah konsentrasi hemoglobin (Hb) rendah. Jika kekurangan zat besi adalah penyebab yang mendasari, menurut definisi, individu kehilangan simpanan zat besinya, ferritin plasma yang rendah atau menurunnya kemampuan zat warna besi disumsum tulang mereka. Mereka juga mengalami inadekuat pengiriman zat besi untuk jaringan ditandai oleh saturasi transferin yang rendah, konsentrasi eritrosit porfirin yang tinggi, dan konsentrasi reseptor tranferin meningkat (2).
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht <37 % pada wanita. Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang dipadatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah (3,4). Menurut WHO anemia pada ibu hamil adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobim (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 g%. Sedangkan menurut Saifuddin anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11,0 g% pada trimester I dan III <10,5 g% pada trimester II. Dalam kehamilan jumlah darah bertambah banyak (hiperemi/hipervolumia) sehingga terjadi pngenceran darah karena jumlah sel-sel darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma darah. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32-36 minggu. Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan (1).
Epidemiologi

Wanita yang sedang mengandung, sangat umum menderita anemia. Prevalensi wanita hamil yang menderita anemia defisiensi zat besi, cukup tinggi di negara berkembang. Di Indonesia tercatat 70% wanita hamil yang menderita anemia defisiensi zat besi. Sangat sering dijumpai wanita hamil dengan hemoglobin kurang dari 12 g/dl pada pemeriksaan (1).
Kekurangan zat besi merupakan penyakit kekurangan gizi tunggal di dunia dan merupakan perhatian utama bagi == 15% dari populasi dunia. Sekitar 6-11% wanita usia reproduktif, 14% wanita muda berusia 15-19 y, dan == 25% wanita hamil kekurangan zat besi di Amerika Serikat dan Kanada (2).
Anemia gizi merupakan masalah kesehatan yang penting di banyak negara berkembang, termasuk Sri Lanka, dan menyebabkan penurunan kapasitas kerja fisik. Prevalensi anemia sangat tinggi selama kehamilan dan diperkirakan 59 tahun 1980 di negara berkembang. Ini adalah penyebab utama morbiditas dan kematian ibu dan juga mempengaruhi hasil akhir kehamilan (5).
Di Indonesia, angka anemia ibu hamil tetap saja masih tinggi meskipun sudah dilakukan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan. Berdasarkan data SKRT tahun 1995 dan 2001, anemia pada ibu hamil sempat mengalami penurunan dari 50,9% menjadi 40,1% (6).
Angka kejadian anemia di Indonesia semakin tinggi dikarenakan penanganan anemia dilakukan ketika ibu hamil bukan dimulai sebelum kehamilan. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2010 didapatkan data bahwa cakupan pelayanan K4 meningkat dari 80,26% (tahun 2007) menjadi 86,04% (tahun 2008), namun cakupan pemberian tablet Fe kepada ibu hamil menurun dari 66,03% (tahun 2007) menjadi 48,14% (tahun 2008) (6).

Etiologi
Kekurangan besi dapat disebabkan (7,8,9) :
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
 Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir, bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
 Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan darah lewat menstruasi.
 Infeksi
2. Kurangnya besi yang diserap.
 Masuknya besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi dalam satu tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI ekslusif jarang menderita kekurangan besi dalam 6 bulan pertama. Hal ini besi yang terkandung di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu formula.
Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsorpsi.
 Malabsorpsi besi
Keadan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama peryerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya Anemia Defisiensi Besi. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi ) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induce enterohepathy, ulkus peptikum karena obat-obatan ( asam asetil salisilat, kertikosteroid, indometasin, obat AINS) dan infestasi cacing (Ancylostoma doudenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria.
Pada keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada paroxysmal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mh/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko menderita ADB.
7. Idiopatthic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat berulang menyebabkan kadar Hb menururn drastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlet yang berolah raga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40% remaja perempuan dan 17 % remaja laki-laki feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari. Patofisiologi
secara patofisiologis anemia terjadi pada kehamilan karena terjadi perubahan hematologi atau sirkulasi yang meningkat terhadap plasenta. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya volume plasma tetapi tidak sebanding dengan penambahan sel darah dan hemoglobin. Selain itu, dapat disebabkan kebutuhan zat besi yang meningkat serta kurangnya cadangan zat besi dan intake zat besi dalam makanan. Zat besi diperlukan untuk eritropoesis (6).
Jika total zat besi dalam tubuh menurun akibat cadangan dan intake zat besi yang menurun, maka akan terjadi penurunan zat besi pada hepatosit dan makrofag hati, limpa dan sumsum tulang belakang. Setelah cadangan habis, akan terjadi penurunan kadar Fe dalam plasma padahal suplai Fe pada sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin menurun. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan eritrosit tetapi mikrositik sehingga terjadi penurunan kadar hemoglobin (6).
Secara langsung anemia ringan tidak membahayakan jani yang dikandung ibu, karena bayi akan mengambil zat besi dari ibu sebanyak yang dibutuhkan. Kesehatan bayi akan terancam, jika anemia dibiarkan berlanjut dan tidak ada tindakan pengobatan. Kekurangan zat besi bisa menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin, bayi terlahir dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), prematur, kurangnya cadangan zat besi pada tubuh bayi. Atau lahir dengan cacat bawaan, bahkan dapat mengakibatkan kematian (abortus) (1).
Anemia yang diderita ibu, juga berpengaruh pada anak dikemudian hari. Daya tahan anak rendah dan anak rentan terhadap infeksi,karena fungsi sel fagosit yang menangkal bakteri infeksi tidak maksimal. Selain mempengaruhi fisik, anemia selama kehamilan juga dapat mempengaruhi kecerdasan anak. Anak yang dilahirkan oleh wanita anemia, akan mengalami penurunan kecerdasan intelejensi setelah dilahirkan. IQ anak dapat turun 6-9 poin (1).
Untuk kesehatan wanita hamil, anemia tidak boleh dianggap sepele. Anemia bisa sangat membahayakan keselamatan ibu, karena perdarahan pada saat persalinan akan semakin berat jika ibu menderita anemia. Perdarahan sendiri merupakan salah satu penyebab utama kematian pada ibu, disamping toksemia dan infeksi (1).
Dilaporkan, anemia pada wanita hamil dapat menyebabkan secara langsung atau tidak langsung kematian ibu sebesar 15-20%. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan menigkatnya kesakitan ibu. Anemia pada wanita hamil meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan, resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR dan angka kematian prinatal meningkat (1).
Wanita yang menderita anemia juga beresiko terhadap perdarahan antepartum dan postpartum. Hal ini sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolelir kehilangan darah. Kemungkinan besar, anemia pada wanita hamil akan mengalami banyak gangguan. Seperti mudah pingsan, mudah keguguran atau proses melahirkan berlangsung lama akibat kontraksi yang tidak bagus (1).

Manifestasi Klinis
Pada tahap awal anemia (anemia ringan), penderita hampir tidak menampakkan gejala. Badan lemah, cepat lelah, lesu, letih kurang energi, nafsu akan menurun, gampang mengantuk, berkunag-kunang terutama bila bangkit dari duduk merupakan gejala klinis yang mudah diketahui. Gejala lain yang muncul adalah daya konsentrasi menurun, sakit kepala mudah terinfeksi penyakit, stamina tubuh menurun, detak jantung cepat. Ciri paling umum ditandai dengan wajah, selaput lendir kelopak mata, bibir dan kuku penderita tampak pucat. Anemia berat bisa terjadi dan dapat berakibat penderita sesak nafas, bahkan lemah jantung. Pembesaran limpa atau hati juga dapat terjadi, tergantung pada kondisi penyebab anemia (1).
Manifestasi klinis anemia diantaranya (6) :
Tanda
Takikardi
Hipotensi
Hemoglobin kurang dari 11gr/dL

Gejala
Cepat lelah
Sering pusing
Malaise
Anoreksia
Nausea dan Vomiting
Palpitasi
Pucat pada kulit dan mukosa

Keperawatan
PENGKAJIAN

1. Aktifitas / Istirahat
Keletihan, kelemahan, malaise umum.
Kehilangan produktifitas, penurunan semangat untuk bekerja
Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak
2. Sirkulasi
Riwayat kehilangan darah kronis,
Riwayat endokarditis infektif kronis.
Palpitasi.
3. Integritas ego
Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pemilihan pengobatan, misalnya: penolakan tranfusi darah.
4. Eliminasi
Riwayat pielonenepritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsobsi.
Hematemesi, melana.
Diare atau konstipasi
5. Makanan / cairan
Nafsu makan menurun
Mual/ muntah
Berat badan menurun
6. Nyeri / kenyamanan
Lokasi nyeri terutama di daerah abdomen dan kepala.
7. Pernapasan
Napas pendek pada saat istirahat maupun aktifitas
8. Seksualitas
Perubahan menstuasi misalnya menoragia, amenore
Menurunnya fungsi seksual
Impotent

DIAGNOSIS DAN NOC-NIC (11) :
1. Ketidakseimbangan Nutirisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d faktor biologis
Batasan Karakteristik :
o Kekurangan masukkan makanan
o Kekurangan berat badan

NOC : Status gizi
o Makanan oral
o pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total
o Asupan cairan oral atau IV

NIC : Nutrition Management
o Gali apakan pasien memiliki riwayat alergi makanan
o Pastikan pilihan makanan klien
o Kolaborasi dengan ahli diet, menentukan jumlah kalori dan tipe zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
o Anjurkan klien meningkatkan intake protein, zat besi dan vitamin C
o Tawarkan makanan ringan
o Pastikan diet mengandung makanan berserat tinggi untuk mencegah konstipasi
o Sediakan pilihan makanan
o Nilai kemampuan pasien memenuhi kebutuhan nutrisi
o Berikan substansi gula
o Pantau jumlah nutrisi dan kandungan kalorinya

Nutrition Monitoring
o Ukur BB klien
o Pantau perubahan kenaikan dan penurunan BB
o Pantau type dan jumlah aktivitas yang bisa dilakukan
o Pantau respon emosi pasien saat melakukan kegiatan yang berhubungan dengan makan dan makanan.
o Pantau interaksi orang tua/anak selama pemberian makan
o Pantau lingkungan selama makan
o Jadualkan tindakan dan pengobatan pada waktu diluar waktu makan



Keperawatan Medikal Bedah (KMB IV) Efusi Fleura

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi. Terdapat empat tipe cairan yang dapat ditemukan pada efusi pleura : Cairan serusa (hidrothorax),Darah (hemothotaks),Chyle (chylothoraks), dan Nanah (pyothoraks atau empyema). Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (1).
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi. Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura.

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya. Akan tetapi efusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit berikut: Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.
Berdasarkan jenis cairannya dibedakan menjadi:
a. Hemotoraks (darah di dalam rongga pleura) biasanya terjadi karena cedera di dada.
Penyebab lainnya adalah:
- pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
- kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
- gangguan pembekuan darah. Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.
b. Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa terjadi jika pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura.
Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
Pecahnya kerongkongan
Abses di perut.
c. Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan oleh suatu cedera pada saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran karena adanya tumor.

C. EPIDEMIOLOGI
Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB Paru adalah peyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan dan jenis biochemical dalam cairan pleura.

D. ETIOLOGI

Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 3 jenis efusi yang berbeda (1):
1. Efusi Transudat dapat disebabkan oleh biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam paru-paru. Seperti kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis), syndroma vena cava superior, tumor, sindroma meig.
2. Efusi Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia, tumor, infark paru, radiasi, penyakit kolagen. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.
3. Efusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, tuberkulosis.
Penyebab lain dari efusi pleura adalah(1):

Gagal jantung
Kadar protein darah yang rendah
Sirosis
Pneumonia
Blastomikosis
Koksidioidomikosis
Tuberkulosis
Histoplasmosis
Kriptokokosis
Abses dibawah diafragma
Artritis rematoid
Pankreatitis
Emboli paru
Tumor
Lupus eritematosus sistemik
Pembedahan jantung
Cedera di dada

Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin,klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin)
Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.
Ada berbagai keganasan yang dapat menimbulkan efusi pleura, namun pada umumnya disebabkan oleh metastasis tumor ganas dari bagian tubuh yang lain; karena keganasan primer pleura sendiri, yaitu mesotelioma pleura sangat jarang ditemukan. Keganasan yang paling sering mengakibatkan efusi pleura adalah karsinoma paru, baik berupa karsinoma epidermoid, karsinoma sel kecil, adenokarsinoma, maupun karsinoma sel besar. Jenis kanker paru yang paling banyak menimbulkan efusi pleura adalah adenokarsinoma, karena keganasan ini biasanya terletak di daerah perifer paru. Limfoma dan keganasan lain pada kelenjar limfe di daerah hilus pare dan mediastinum juga dapat menyebabkan efusi pleura (1).
Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder. Kelainan primer pada pleura hanya ada dua macam yaitu (1):
- Infeksi kuman primer intrapleura
- Tumor primer pleura
Namun, efusi pleura juga dapat terjadi karena(1):
a. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
b. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
- Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
- Penurunan tekanan osmotic koloid darah
- Peningkatan tekanan negative intrapleural
- Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat tajam dan semakin memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: batuk,cegukan,pernafasan yang cepat,dan nyeri perut. Sekitar 25% penderita efusi pleura keganasan tidak mengalami keluhan apapun pada saat diagnosis ditegakkan. Gejala lainnya (4):
Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Gejala klinis dari efusi pleura biasanya disebabkan oleh penyakit dasar pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis. Sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Efusi pleura yang dibahas akan menyebabkan sesak nafas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi nafas minimal atau tidak sama sekali mengahsilkan bunyi datar, pekak saat diperkusi. Bila terdapat efusi pleura kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak terjadi (4).

I. PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap pasien dengan efusi pleura adalah dengan mengatasi penyakit yang mendasarinya, mencegah penumpukan kembali cairan, serta untuk mengurangi ketidaknyamanan dan dispnea.
Water Seal Drainage (WSD) adalah prosedur invasif yang dilakukan dengan tujuan mengeluarkan udara dan cairan dari rongga thoraks, rongga pleura, dan mediastinum, menggunakan selang penghubung drainage (7).
Tujuan (7) :
1. Preventif
Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga “mechanism of breathing” tetap baik.
2. Diagnostik
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh kepada keadaan syok.
3. Terapeutik
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanism of breathing” dapat kembali seperti seharusnya.
Prosedur pemasangan WSD dan perawatannya (7) :
1. Pemasangan
Pemasangan WSD dilakukan oleh dokter. Perawat bertugas memberi dukungan moril kepada pasien dan membantu kelancaran prosedur. Sebelum tindakan dilakukan, perawat melakukan pengkajian terutama TTV dan status pernapasan.
a. Persiapan pasien
• Siapkan pasien
• Memberi penjelasan kepada pasien mencakup:
 Tujuan tindakan
 Posisi tubuh saat tindakan dan selam terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring.
 Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti napas dalam, distraksi.
 Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena.
b. Persiapan alat
• Sistem drainage tertutup
• Motor suction
• Selang penghubung steril
• Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang cutgut dan jarumnya, duk bolong, sarung tangan, spuit10 cc dan 50cc, kassa, NaCl 0,9%, konektor,set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker.
c. Prosedur
• Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksillaris anterior dan media.
• Lakukan analgesia/anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
• Buat insisi kulit dansubkutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus interkostalis.
• Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura/menyentuh paru.
• Masukkan selang (chest tube) melali lubang yang telah dibuat dengan menggunakan Kelly forceps.
• Selang (chest tube) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada.
• Selang (chest tube) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
• Foto X-rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
2. Perawatan WSD (7) :
Kaji adanya distress pernapasan & nyeri dada, bunyi napsa didaerah paru yang terkena & TTV stabil.
Observasi adanya distress pernapasan
Observasi :
­ Pembalut selang dada
­ Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung dan bekuan darah
­ Sistem drainase darah
­ Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien
­ Gelembung udara di air bersegel atau ruang
­ Tipe dan jumlah drainase cairan. Catat warna &julah drainase, TTV & warna kulit.

J. ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktorpredisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Px akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
6) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan proses berpikirnya.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
10) Pola penanggulangan stress
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi. Terdapat empat tipe cairan yang dapat ditemukan pada efusi pleura : Cairan serusa (hidrothorax),Darah (hemothotaks),Chyle (chylothoraks), dan Nanah (pyothoraks atau empyema).
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul sesuai kasus adalah Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan deformitas dinding dada, hipoventilasi, Nyeri Akut berhubungan dengan Agens cedera Biologis. Resiko ketidakseimbangan volume cairan dan Resiko Infeksi.
B. Saran
Efusi pleura kebanyakannya karena kelainan sekunder yang didasari oleh penyakit sebelumnya. Agar tidak terjadi efusi pleura maka pengobatan yang teratur serta perawatan yang baik harus dilakukan agar penyakit primer yang di alami klien cepat sembuh dan tidak berkembang menjadi efusi pleura.

DAFTAR PUSTAKA
1. Baughman C Diane. Keperawatan Medical Bedah. Jakrta : EGC, 2000.
2. Gop A, Sethu M. M, Surendra K.S, Steven A. S. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Pleural Effusion in 2006. Chest 2007;131;880-889
3. Anonim. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Ethical Digest. No.61 Thn. VII Maret 2009
4. Suddart, & Brunner. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2002
5. Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Kallanagowdar C & Craver RD. Neonatal pleural effusion spontaneous chylothorax in a newborn with irisoroy 21. Arch pathol lab med, 130,e22-3
7. Agustina, Rismia. Modul Lab Skills Keperawatan Medikal Bedah IV. Banjarbaru: Program Studi Ilmu Keperawatan, 2012.
8. Wiley, Blackwell. 2009. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-2011. United States of America: Mosby Elsevier.
9. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.
10. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.